Sebagian
besar orang pasti tumbuh dengan ditemani cerita dongeng sebelum mereka tidur,
dan tentu sudah banyak yang mengenal dongeng-dongeng semacam Cinderella, Putri
Tidur, Pangeran Katak dan tentunya, Putri Salju. Dalam versi pada umumnya,
diceritakan bahwa Putri Salju adalah gadis malang yang sudah tak beribu dan
ketika ayahnya menikah lagi, ibu tirinya adalah seorang perempuan jahat yang
tiap hari selalu bertanya pada cermin ajaibnya di kamar mengenai siapa wanita
tercantik di dunia (dalam beberapa versi menjadi ‘wanita tercantik di seluruh
negeri’) dan dia senang ketika cermin itu selalu menjawab bahwa dialah wanita
paling cantik di dunia. Suatu ketika, si cermin menjawab dengan kata-kata yang
ditakutinya, bahwa anak tirinya memiliki kecantikan yang melebihi kecantikannya
sendiri. Maka, sang Ratu pun berusaha membunuh Putri Salju dengan mengupah
seorang pemburu untuk membunuh si Putri di tengah hutan. Namun karena pemburu
itu tak tega, maka ia pun menyuruh sang putri lari dan ia membunuh seekor rusa
yang hatinya ia persembahkan kepada Ratu sebagai ganti hati sang putri yang
diminta oleh Ratu. Kita semua tahu bagaimana akhirnya bahwa sang Ratu yang tahu
saingannya masih hidup, berusaha membunuhnya sekali lagi dengan menyamar
sebagai nenek tua yang memberikan sebutir apel merah yang ternyata adalah apel
beracun (dalam dongeng asli, ia mencoba membunuh Putri Salju sebanyak 3x dengan
3 barang yang berbeda: sisir emas, ikat pinggang kain dan apel); dan bahwa sang
putri disangka sudah mati sehingga ia dimasukkan dalam peti kaca yang indah dan
ciuman dari seorang pangeran tampan akhirnya menyadarkannya kembali (dalam
versi asli, bukan ciuman sang pangeran yang membuatnya bangun melainkan karena
salah seorang kurcaci pengangkut peti matinya tersandung sewaktu hendak membawa
peti kaca itu ke pemakaman sehingga potongan apel beracun yang menyumbat
tenggorokannya terlontar keluar dan ia bisa hidup lagi); lalu sang Ratu jahat
mati tersambar petir dan jatuh ke jurang (versi asli menyatakan bahwa Ratu
dihukum memakai sepatu besi yang panas membara sehingga ia terus menerus menari
karena kesakitan sampai mati). Dan ‘happily
ever after’ alias bahagia selamanya. Selesai. Itulah gambaran umum tentang
cerita Putri Salju yang kita kenal.
Tapi kisah semanis itu tak akan
anda temui dalam film berikut yang diangkat berdasarkan dongeng yang sama
karangan Grimm bersaudara ini.
Snow White: A Tale of Terror adalah film horor produksi 1997 yang memang masih didasarkan pada cerita dongeng yang sama dengan bintang Sigourney Weaver, Sam Neill dan bintang remaja yang kemudian melejit lewat serial Dawson’s Creek, Monica Keena. Musik dalam film ini digarap oleh komposer John Ottman. Dan yang terutama, meski kisah ini didasarkan pada dongeng populer anak-anak, namun film ini tidak ditujukan untuk anak-anak karena di dalamnya ada banyak adegan dan dialog berbau kekerasan, seks, darah, humor yang sadistik dan sarkatik, serta jalan cerita yang terlalu berat dan gelap untuk diikuti anak-anak.
Seperti yang dikatakan di atas, alasan film ini mencantumkan tagline "The fairy tale is over" karena ini bukanlah dongeng/film yang mengisahkan cerita manis yang mengharubiru ataupun cocok untuk konsumsi anak-anak/segala umur. Meski menerima berbagai review, baik negatif maupun positif, namun film ini memperoleh pujian karena tetap mempertahankan ‘formula’ khas dan tema gothic yang pekat serta gelap, yang pernah ada dalam dongeng-dongeng anak-anak zaman dahulu.
Plot
Sepasang suami-istri, Lilliana(Joanna
Roth) dan Friederick Hoffman (Sam Neill), diserang oleh segerombolan serigala
saat melintasi hutan dan kereta mereka mengalami kecelakaan fatal akibat
serangan tersebut. Lilliana yang tengah mengandung anak pertama mereka,
meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Namun, sebelum ia mati, ia memaksa
suaminya, Friederick, untuk mengoperasinya dengan operasi Caesar guna
menyelamatkan bayi perempuan mereka, Liliana, yang masih berada dalam
kandungannya. Tujuh tahun kemudian, Liliana Hoffman (kadang ia juga dipanggil Lilli—tokoh
Putri Salju dalam film ini, meski ia tak pernah dipanggil ataupun disebut
secara langsung sebagai Putri Salju di sepanjang film)—sudah tumbuh menjadi
gadis kecil yang manis dan lincah. Suatu ketika, Lilli(Taryn Davis) diberitahu
bahwa ayahnya akan menikah lagi dan ia sudah membawa pulang calon ibu tiri
Lilli yaitu Lady Claudia
(Sigourney Weaver). Dengan enggan, Lilli menyambut
kedatangan calon ibu barunya bersama dengan seluruh penghuni rumah. Sebagai
hadiah perkenalan, Claudia memberikan seekor anak anjing Rottweiler yang lucu pada calon anak tirinya; meski senang dengan pemberian
Claudia, namun Lilli tak mau mengucapkan terima kasih kepadanya. Bahkan di
malam upacara kamar pengantin ayahnya, dengan sengaja Lilli menumpahkan anggur pemberkatan
pernikahan dari gelas upacaranya ke wajah Claudia.
Semula tak ada yang salah
dengan Claudia. Ia berusaha untuk menjadi ibu yang baik bagi anak tirinya dan
menjadi istri yang pantas untuk Friederick. Namun Lilli tak pernah mau menerima
ataupun membuka hati terhadap ibu tirinya. Ia menjadi makin segan dan menjaga
jarak terhadap Claudia ketika salah seorang pengasuhnya ditemukan tewas secara
misterius ketika secara tak sengaja ia membuka lemari rias antik berisi cermin tua
peninggalan ibu Claudia. Ketika Lilli beranjak remaja, diadakanlah sebuah pesta
meriah di rumahnya yang dihadiri oleh orang-orang terkemuka dari kalangan
bangsawan. Menjelang pesta, Claudia memberikan gaun warisan ibunya kepada putri
tirinya dan memintanya untuk mengenakannya sebagaimana ia dulu pernah
memakainya ketika remaja. Namun Lilli menolak dan malah memilih memakai gaun
peninggalan ibunya sendiri dan berdandan layaknya perempuan dewasa. Melihatnya
tampil cantik dan dewasa, ayah Lilli sangat senang karena Lilli sangat mirip
dengan ibunya dan membuatnya teringat kembali dengan mendiang istri pertamanya,
lalu mereka mulai berdansa. Namun tidak demikian halnya dengan Claudia. Ia
melihat penampilan dan kecantikan Lilli sebagai suatu ancaman baru bagi dirinya
karena semua orang, terlebih suaminya, dirasanya tak lagi memperhatikannya lagi
dan lebih memperhatikan Lilli. Ia yang selama ini jadi pusat perhatian, kini
diabaikan dan tak dipuja lagi. Lagipula saat melihat kedekatan Lilli dan
ayahnya, Claudia menjadi sadar bahwa selamanya tak ada tempat untuknya di
antara mereka berdua dan Lilli selamanya tidak akan mau membagi cinta dan kasih
sayang ayahnya dengannya. Dalam gejolak amarah dan kecemburuannya itulah, Claudia
melahirkan anaknya secara prematur dan sayangnya, bayi lelakinya ini lahir
dalam keadaan meninggal dunia. Dokter yang kemudian merawat Claudia,
memberitahu Friederick bahwa Claudia tak akan pernah bisa punya anak lagi. Berita
ini merupakan suatu pukulan berat bagi Claudia yang ingin menyenangkan hati
suaminya dengan melahirkan anak lelaki untuknya. Akibat dari penderitaan batin
yang bertubi-tubi menimpanya, Claudia kehilangan kecantikannya dan wajahnya nampak
tua dan kuyu. Dalam keadaan putus asa, ia memandang ke dalam cermin rias
warisan ibunya. Tiba-tiba saja cermin itu memperlihatkan sosok dirinya yang
dulu, yang cantik, muda serta penuh gairah. Sosok kembaran dirinya itu kemudian
berbicara kepadanya, mengatakan bahwa semua musibah itu adalah karena gara-gara
anak tirinya, Liliana, dan menghasut Claudia untuk membalas dendam pada Lilli.
Batin Claudia yang limbung pun akhirnya terpengaruh dan ia termakan hasutan
cermin itu. Maka mulailah ia menyusun rencana balas dendam pada Lilli.
Claudia menyuruh adiknya yang
bisu bernama Gustav(Misroslav Taborsky) untuk membunuh Lilli di suatu hutan dan
membawa jantungnya untuk Claudia. Namun Lilli berhasil meloloskan diri dari
Gustav. Untuk menipu kakaknya, Gustav menyembelih seekor babi dan memberikan
jantung binatang itu kepada Claudia, yang mengira bahwa itu memang betul-betul
jantung anak tirinya. Claudia menyuruh Gustav untuk menaruh sebagian dari
jantung itu ke dalam masakan sebab ia ingin memakannya sedangkan sisanya ia
simpan untuk mandi karena ia yakin bila ia mandi darah Lilli maka dia akan
kembali menjadi muda dan cantik. Namun cermin ajaib Claudia mengatakan bahwa
Gustav telah berbohong padanya dan bahwa Lilli masih hidup. Saat Claudia
mengetahui hal ini, dengan murka ia menggunakan ilmu sihirnya untuk meneror
adiknya dan akhirnya memaksa Gustav yang ketakutan untuk bunuh diri.
Sementara itu, di dalam hutan Lilli
bertemu dengan tujuh orang penambang ketika ia secara tak sengaja tidur dalam
reruntuhan gereja tua tempat mereka tinggal. Orang-orang ini adalah orang-orang
yang divonis bersalah baik oleh hukum maupun oleh pihak gereja dan mereka telah
dikucilkan dari masyarakat. Akhirnya, meski enggan, mereka membiarkan Lilli
menginap di situ walau mereka tahu bahwa ia adalah anak dari salah satu dari
sejumlah tuan tanah dan bangsawan yang mereka benci. Ketika salah seorang dari
antara mereka mencoba memperkosa Lilli, pimpinan mereka, Will (Gil Bellows), bahkan
menolong Lilli.
Saat Claudia tahu bahwa Lilli masih
hidup, dia menggunakan kekuatan sihirnya untuk mencoba membunuh Lilli
berkali-kali, namun tak berhasil dan malah mencelakai serta membunuh beberapa
orang penambang. Dan atas bujukan cermin ajaibnya, Claudia membuat suaminya
yang sedang sakit (Friederick terjatuh dan mengalami patah tulang saat mencari
putrinya yang hilang di hutan) menjadi lumpuh, mengubah semua pelayan di rumah
itu menjadi seperti mayat hidup yang hanya mematuhi perintahnya serta menggoda
tunangan Lilli yang tampan, Dr. Peter Gutenberg. Dan untuk bisa membangkitkan
kembali anaknya yang sudah mati, Claudia mengambil darah dan sperma suaminya
yang sudah tak berdaya lalu menyatukannya dengan sihir kegelapan yang
dikuasainya. Anak Claudia hidup kembali meskipun wujudnya belum sepenuhnya
sempurna.
Di lain tempat, Lilli dan Will
merasa sangat sedih dengan kematian kawan-kawan mereka dan Lilli menjadi makin
simpati pada Will saat dia tahu nasib menyedihkan yang dialami Will. Keluarga
Will mati dalam suatu kebakaran dan luka di wajah Will adalah akibat ia berkelahi
dengan salah seorang pejuang perang salib meski perkelahian itu timbul bukan
karena kesalahan Will. Saat itu pula Lilli dan Will akhirnya sama-sama
menyadari bahwa mereka mulai saling jatuh cinta…
Merasa usahanya selama ini
selalu gagal, dengan ilmu sihirnya Claudia merubah dirinya menjadi seorang
nenek tua yang buruk rupa, dan menyihir jantung adiknya yang sudah mati menjadi
sebutir apel beracun. Dengan memanfaatkan situasi saat Lilli sendirian, ia
menemui gadis itu. Setelah berbincang dan bergurau sejenak dengan Lilli, Claudia
menyerahkan apel beracun itu pada Lilli dan menyuruh gadis itu memakannya. Saat
Lilli memakan apel itu, ia tersedak lalu ‘pingsan’. Saat ditemukan oleh Will,
ia menyangka Lilli benar-benar sudah mati karena tubuh gadis itu sudah kaku dan
ia tak bernafas lagi. Dr. Gutenberg (David Conrad), tunangan Lilli yang masih
terus mencari keberadaan kekasihnya, tiba di tempat itu dan setelah memeriksa
keadaan Lilli, ia menyatakan Lilli sudah meninggal. Saat upacara penguburan,
melalui tutup peti kaca jenazah Lilli, Will yang jeli bisa melihat bahwa mata
Lilli terbuka dan ia belum mati. Dengan segera, Will melompat ke dalam liang
kubur dan menarik tubuh Lilli dari dalam peti matinya, lalu mengguncang-guncang
tubuh gadis itu dengan keras sehingga Lilli terbatuk lalu melontarkan potongan
apel yang menyumbat tenggorokannya dan ia bisa kembali bernafas.
Kemudian Lilli, Gutenberg dan
Will kembali ke mansion keluarga Hoffman untuk membuat perhitungan dengan
Claudia serta membebaskan ayah Lilli dari cengkeraman Claudia. Namun
sesampainya di sana, mereka menjumpai bahwa rumah yang dulu terang dan penuh
dengan gelak tawa para pelayan sekarang menjadi sunyi, gelap dan angker,
apalagi saat Lilli mendapati seluruh penghuni rumah, termasuk anjing piaraan Lilli,
berada di bawah kendali Claudia yang sekarang menjadi makin gila dan tak
terkendali. Dalam suatu kesempatan, Claudia bahkan berhasil membunuh Dr.
Gutenberg dengan melempar pria itu keluar dari jendela menara. Setelah melewati
berbagai rintangan, Lilli berhasil menemukan Friederick yang tak berdaya dan berada
di bawah kendali sihir istrinya, sehingga ia tak mengenali putrinya lagi. Lilli
kemudian meminta Will untuk segera membawa ayahnya keluar dari mansion itu,
sedangkan ia sendiri akan mencari Claudia dan berhadapan langsung dengan ibu
tirinya itu. Berhasilkah Lilli mengalahkan ibu tirinya dan membebaskan ayahnya
dari pengaruh sihir Claudia? Lalu bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Will?
Review
Film Snow White: A Tale of Terror ini merupakan karya sutradara Michael
Cohn dan debut pertama aktris Monica Keena dalam dunia perfilman. Sebetulnya, peran
Liliana tadinya hendak diserahkan pada Alicia Silverstone yang saat itu sedang
ngetop sebagai bintang remaja namun karena suatu alasan, ia tidak bisa menerima
peran tersebut sehingga akhirnya peran itu jatuh ke tangan Monica Keena melalui
suatu audisi ketat. Demi memerankan Liliana, Monica mengecat rambutnya yang
kecoklatan dengan warna hitam supaya sesuai dengan deskripsi sosok Putri Salju
yang ada dalam dongeng.
Walaupun menuai banyak kritik
yang mengatakan bahwa film ini kurang bagus, menurut saya film ini cukup
berhasil mengangkat tema ‘gelap’ yang memang ada dalam dongeng aslinya. Selama
ini, banyak orang mengira bahwa cerita Snow White adalah cerita manis yang
cocok untuk anak-anak dan berakhir dengan ‘happily ever after’ (apalagi ketika
Disney membuat cerita dongeng ini ke dalam bentuk animasi dengan judul yang
sama). Padahal sebenarnya tidak. Banyak sekali dongeng yang sebetulnya
berisikan tema ‘gelap’ yang menyeramkan untuk anak-anak, contoh: Hansel &
Gretel, yang bertemakan kanibalisme meski berakhir bahagia, Si Tudung Merah,
yang aslinya mati dimangsa serigala (namun dirubah endingnya karena dirasa terlalu seram untuk anak-anak), Putri
Duyung yang sebetulnya selalu menyembunyikan sebilah pisau di balik rambutnya
yang indah untuk membunuhi orang-orang yang mengetahui rahasia keberadaan
bangsa duyung dan istana ayahnya dan akhirnya ia bunuh diri dengan pisau itu
ketika pangeran tak membalas cintanya dan menikahi gadis lain, dan masih banyak
lagi.
Saya masih ingat ketika nenek
saya dulu menceritakan versi asli dongeng Putri Salju ini menjelang tidur
sewaktu saya masih kecil. Dia menceritakan kisah ini apa adanya dan tidak
ditutup-tutupi dan hal ini sempat membuat saya menjadi ragu, benarkah
cerita-cerita mengerikan itu adalah dongeng untuk anak-anak? Mengapa seram
sekali (terutama cerita dongeng tentang Cinderella, di mana kedua saudara
tirinya yang cantik tapi pendengki itu berusaha memasukkan kaki mereka ke dalam
sepatu emas yang dibawa pangeran untuk mencari putri misterius yang membuatnya
jatuh cinta. Kedua gadis itu melakukan hal yang ekstrim dan juga sadis hanya
supaya mereka bisa terpilih oleh pangeran (dan dari sini lahirlah kata-kata ‘No pain, no beauty’). Si sulung
memotong jempol kakinya supaya muat namun gagal karena burung-burung ajaib
sahabat Cinderella memperingatkan pangeran. Si bungsu menggilas kakinya, atau
dalam beberapa versi malah memotong tumitnya, agar kakinya cukup muat dalam
sepatu mungil itu meski pada akhirnya ia juga gagal karena burung-burung ajaib
memperingatkan pangeran)? Pertanyaan itu akhirnya terjawab setelah saya membaca
bahwa dongeng-dongeng itu tidak semata ditujukan untuk menghibur anak-anak saja
namun juga berfungsi sebagai suatu ‘indoktrinasi’ dan kritik sosial bagi
masyarakat mengenai peristiwa yang sedang terjadi dalam masyarakat seperti isu
kesetaraan gender sampai pada isu sentimen rasisme yang waktu itu marak.
Lalu dari segi akting, saya
rasa akting para pemainnya terutama aktris senior macam Sigourney Weaver. Dia
berhasil menampilkan sosok ibu tiri yang lain. Claudia tidak jahat awalnya. Ia
nampaknya juga memiliki masa lalu yang menyedihkan. Semasa muda, Claudia tidak
akur dengan ibunya yang seorang penyihir. Ia tak mau berakhir seperti ibunya
dan berusaha hidup lebih baik. Karena itulah, ia berusaha menjadi ibu sekaligus
istri yang baik bagi keluarga barunya. Namun ia akhirnya menjadi jahat karena
menyadari bahwa Lilli tak mau membagi kasih sayang ayahnya dan berusaha merebut
segalanya darinya yaitu perhatian ayahnya dan posisi nyonya rumah. Selama ini,
ia selalu tampil cantik, dikagumi dan menjadi pusat perhatian. Hal yang
sebelumnya tak pernah ia nikmati ketika ibunya masih hidup dulu. Selain itu, sebagai
seorang wanita yang dibesarkan dalam budaya patriarkis, Claudia tahu bahwa dia
tidak akan pernah bisa memenangkan hati suaminya seutuhnya apabila dia tidak
bisa memberikan seorang anak lelaki sebagai penerus keluarga. Namun ketika
anaknya mati dan dia melihat bagaimana Lilli telah merebut perhatian ayahnya
serta perhatian para tamu darinya, Claudia merasa dunianya yang baru, yang
bebas dari bayang-bayang dominasi ibunya, terancam runtuh. Apalagi saat ia tahu
suaminya ternyata masih tak bisa melupakan mendiang istri pertamanya, dan Lilli
membangkitkan kembali kenangannya bersama sang istri dengan mengenakan pakaian
serta berdandan seperti ibunya, Claudia pun sadar bahwa sedari awal, ia tidak
pernah dianggap ada maupun diterima dalam keluarga mereka. Dan saat ia melihat
bahkan kecantikannya pun kini sudah hilang, maka Claudia seperti orang yang
sudah didorong sampai ambang batas. Dalam keputusasaannya itulah, kegelapan
dalam hatinya, yang ditampilkan sebagai sosok kembaran dirinya dalam cermin
itu, perlahan mulai menguasai dirinya dan mengambil alih kesadaran nuraninya.
Weaver, sebagai seorang aktris yang mumpuni, berhasil membawakan dan
menampilkan perubahan psikologis Claudia dengan amat baik.
Monica Keena juga cukup
berhasil menampilkan sosok si Putri Salju Liliana tidak sebagai gadis manis,
lembut, pasrah dan penurut seperti dalam cerita animasi Disney. Sosok ‘Putri
Salju’ Keena tidaklah sebersih salju ataupun bulu domba yang tanpa cela. Sedari
awal, Liliana tidak menyukai kehadiran Claudia yang dianggapnya sebagai pesaing
dalam memperebutkan kasih sayang ayahnya. Selain itu, ia nampaknya menganggap
Claudia sebagai pengganggu serta perusak kenangan almarhumah ibunya yang hidup
dalam rumah itu dan dalam dirinya. Oleh karena itu, ia selalu menampik setiap
uluran persahabatan yang ditawarkan Claudia kepadanya, termasuk ketika Claudia
menghadiahinya dengan gaun peninggalan nenek tirinya. Ketika Lilli memilih
memakai gaun peninggalan ibunya dan tampil di pesta dengan dandanan mirip ibunya,
ia sebetulnya secara tak sadar dan tak langsung menyatakan bahwa ia tidak hanya
tak pernah mau menerima Claudia sebagai bagian dari keluarganya tapi juga tak
mau mengakui kedudukan Claudia sebagai nyonya atas rumah keluarga mereka dan ia
tak akan pernah mau membagi kasih sayang ayahnya dengan Claudia. Sikapnya yang
antagonis inilah yang akhirnya membuat Claudia merasa terancam, terlebih karena
wanita itu tak memiliki seorangpun yang benar-benar menyayanginya, sedangkan
Lilli hidup dalam kelimpahan kasih sayang ayahnya dan seisi rumah. Saat ia
menyadari bahwa sikapnya yang demikian membuat Claudia tertekan dan
menyesalinya, semua sudah terlambat. Claudia sudah terlanjur membencinya dan
bahkan ingin membunuhnya. Walau ada beberapa orang mengatakan akting Keena
masih kurang di sini, tapi saya rasa dia sudah cukup bagus memerankan Liliana
yang nampak cantik, polos namun ternyata juga merupakan sosok yang agak
‘abu-abu’ dan bukan tipikal sosok heroine ‘tanpa cela’ seperti dalam kebanyakan
film bertema serupa.
Yang agak disayangkan mungkin
penampilan Sam Neil yang kurang mendapat porsi banyak, karena kisah terlalu
berfokus pada Lilli dan Claudia. Untuk akting Gill Bellows sebagai Will,
pimpinan dari 7 penambang yang jatuh cinta pada Lilli, bisa dibilang tidak
mengecewakan; sedang performa David Conrad sebagai Dr. Peter Gutenberg,
tunangan Liliana yang tampan bisa dibilang oke dan cukup eye-candy walau ada beberapa adegan di mana dia kelihatan datar dan
kurang menjiwai karakternya.
Overall, dari
seting, kostum, soundtrack, dan performa para aktris dan aktornya sudah cukup
bagus. Yang kurang mungkin hanya plot cerita yang agak terlalu cepat (mungkin
karena durasi yang terbatas) dan bolong di beberapa tempat sehingga agak tidak nyambung
dan membuat bingung karena agak tidak masuk logika. Tapi secara umum menurut
saya, film ini cukup bagus, menarik dan menghibur karena menawarkan sisi lain,
terutama sisi gelap, dari suatu dongeng terkenal anak-anak yang selama ini tidak
atau jarang diketahui oleh kebanyakan orang. Snow White: A Tale of Terror is truly a terror within a fairy tale!
Kalau anda mengharapkan bahwa kisah ini akan sama manisnya dengan versi animasi
Disney, buang jauh-jauh harapan itu dan saya sarankan jangan menontonnya karena
dijamin anda akan kecewa berat! Karena seperti yang dikatakan melalui tagline film ini ‘The fairy tale is over!’
Notes:
· Sebagai
catatan tambahan: dalam dunia medis, kondisi di mana Liliana nampak seperti
orang mati padahal sesungguhnya ia masih hidup, disebut dengan ‘Locked-in Syndrome’. Penderita sindrom
ini sebetulnya sadar dan tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya namun ia
‘terpenjara’ dalam tubuhnya sendiri dan tidak bisa berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain serta tidak mampu menggerakkan hampir seluruh tubuhnya,
kecuali kedua matanya.
· Sosok Putri
Salju sendiri kabarnya didasarkan pada dua orang wanita yang benar-benar ada
dalam sejarah:
1.
Margarete von Waldeck, gadis cantik yang hidup di abad
pertengahan. Margarete dianggap sebagai sosok model Putri Salju karena kisah
hidupnya banyak memiliki persamaan dengan Putri Salju. Sama seperti Putri
Salju, gadis ini dikaruniai kecantikan yang luar biasa sehingga banyak pria
terpikat padanya, termasuk Raja Philip II dari Spanyol yang kemudian menjadi
kekasihnya. Dan seperti halnya Putri Salju pula, Margarete memiliki seorang ibu
tiri dan hubungannya dengan ibu tirinya tidak berjalan dengan baik. Di kota
Waldeck, tempat Margarete tinggal terdapat suatu tambang di mana para
pekerjanya adalah anak-anak kecil yang disebut oleh penduduk setempat sebagai
‘dwarf’ alias ‘kurcaci’ seperti kurcaci pekerja tambang dalam cerita Snow White.
Margarete pindah dari kota kelahirannya, Waldeck, ke Brussel ketika berusia 17
tahun dan bertemu dengan Phillip di sana. Setelah menjalin kasih cukup lama,
Phillip berniat menikahi wanita ini karena ia sungguh-sungguh mencintainya. Sayangnya
wanita cantik ini meninggal dunia secara misterius ketika usianya baru 21 tahun
dan dari surat-surat terakhirnya, disimpulkan bahwa ia nampaknya diracuni oleh
sejumlah bangsawan yang tak mengingini Phillip menikahi gadis yang tak bisa
memberikan keuntungan apa-apa, baik secara politis maupun finansial, untuk
mereka.
2.
Maria Sophia Margaretha Catharina von Erthal, gadis
bangsawan cantik yang lahir di Lohr am Main, suatu daerah di Jerman yang
diyakini sebagai tempat kelahiran tokoh Putri Salju. Maria Sophia lahir pada
tahun 1729 dan sebagaimana halnya Putri Salju, Maria Sophia sudah kehilangan
ibu kandungnya pada tahun 1741. Ketika ayahnya menikah lagi 2 tahun kemudian,
ibu tiri Maria Sophia tidak bersikap baik terhadap putri tirinya dan selalu
mendominasi serta berusaha mencari keuntungan bagi dirinya dan anak-anaknya
sendiri dengan memanfaatkan posisi dirinya sebagai istri baru ayah Maria
Sophia.